Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Memutuskan Sengketa DPT.
Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009 adalah sebagai berikut:
“… Dengan mengingat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Mengadili,
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara sebagai berikut:
Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya
Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP nya; Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat
Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.
Warga negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;…”
Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum dengan menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kartu keluarga (KK) atau Paspor. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009, Mahkamah telah memerintahkan KPU untuk membuat aturan teknis penggunaan hak pilih bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dengan menunjukkan identitas kependudukan yang masih berlaku.
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga yang mempunyai fungsi besar sebagai the guardian and the intepreter of constitution (penjaga dan penafsir konstitusi). Mahkamah Konstitusi bukanlah penafsir Undang-undang atau tidak berwenang menafsirkan bunyi dan mengartikan lain dari bunyi Undang-undang. Namun, dengan amar putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi bertindak bukan hanya sebagai penafsir Undang-undang Dasar saja tetapi juga penafsir Undang-undang.
Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai negatif legislator. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menghapus atau menghilangkan norma suatu Undang-undang jika memang bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bukanlah pembuat norma, karena yang berfungsi sebagai legislator atau yang berhak membuat norma perundang-undangan adalah DPR dan/atau Pemerintah.
Mahkamah Konstitusi memang diberi kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan kontrol dan review terhadap suatu Undang-undang yang dibuat oleh DPR atau Pemerintah, namun, Mahkamah Konstitusi tidak berhak membuat norma Undang-Undang atau merumuskan redaksional kalimat norma pengganti yang dinyatakan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Melangkahi sistem dan kerja seperti ini, berarti melangkahi kerja DPR dan Presiden yang berarti mencederai sistem chek and balance yang seharusnya dijunjung tinggi dalam ranah ketatanegaraan.
Menurut teori dasarnya hakim hanya boleh menerapkan undang-undang, tidak boleh menilai undang-undang. Setiap undang-undang yang sudah disahkan berlaku untuk umum dianggap sudah bersifat final dan mencerminkan kehendak mayoritas rakyat yang berdaulat sebagaimana terwakili dalam keanggotaan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk undang-undang bersama dengan pemerintah.
Terobosan cemerlang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi telah menyelamatkan hak-hak konstitusional banyak warga negara yang kehilangan hak pilihnya pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden sangat menyentuh rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan pandangan soko guru ilmu hukum Indonesia Satjipto Rahardjo dengan aliran progresifnya.
Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran
undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa:
undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa:
“A number of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s objectivity.”
Menurut Satjipto Rahardjo, rangkaian permasalahan dalam dunia pengembanan hukum di Indonesia sudah luar biasa dan sudah sedemikian gawatnya.
Penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan cara-cara hukum yang biasa dan konvensional. Oleh karena itu, diperlukan cara hukum yang luar biasa pula. Salah satu cara hukum luar biasa yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegaka hukum adalah suatu tipe penegakan hukum progresif.
Penegakan hukum progesif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih dari pertauran (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum progesif dilakukan penuh dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.
Putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadikan dikuatkannya hak konstitusional warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut berkaitan dengan waktu pemilihan umum yang hanya tinggal dua hari, dan masalah DPT masih belum dapat diselesaikan oleh KPU, yang dikhawatirkan akan berpotensi menghilangkan hak kostitusional warga negara yang telah secara jelas dijamin oleh UUD 1945.
Pola putusan Mahkamah Konstitusi ini sangat sesuai dengan pola sistem hukum common law, dengan lebih mengedepankan rasa keadilan di tengah masyarakat tanpa terpaku pada teks yang di anut oleh positivis hukum.
Statutory concepts must be justified by demonstrating their provenan in statutory texts, so common law concepts must be justified by demonstrating their provenance in sound public policy.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sekaligus merupakan perwujudan cita-cita demokrasi serta cermin dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), karena sebelum adanya putusan tersebut, masyarakat berpotensi kehilangan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam DPT. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga merupakan perwujudan Negara Hukum, karena melalui adanya putusan tersebut, maka, unsur-unsur negara hukum menurut AV. Dicey, seperti jaminan hak asasi manusia dalam undang-undang, persamaan kedudukan di hadapan hukum, supremasi hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan, dapat dipenuhi.
Implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dapat berjalan dengan baik, sehingga pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 dapat berjalan dengan lebih demokratis dibandingkan pemilihan umum legislatif, karena warga negara dapat menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan identitas kependudukan. Sebelumnya, ada banyak kalangan yang mengharapkan agar pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2009 ditunda untuk memperbaiki DPT, karena jika tidak diperbaiki, maka DPT tersebut akan mengancam hak pilih warga negara. Namun, dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan umum tahun 2009 dapat terlaksana dan tidak mengalami penundaan lagi. Apabila pemilihan umum ditunda lagi, maka akan berdampak bagi integritas KPU, di mana KPU akan dianggap tidak mampu menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan umum, yang akhirnya dapat mempengaruhi kredibilitas hasil pemilihan umum. Selain itu, penundaan jadwal pelaksanaan pemilihan umum juga tidak menjadi jaminan bahwa permasalahan DPT dapat segera diselesaikan.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah memberikan manfaat dan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak konstitusional warga negara untuk dapat memilih presiden dan wakil presidennya dalam pemilihan umum yang demokratis.
Implikasi dari Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009
Peranan Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak konstitusional warga negara tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009 ini menarik untuk dianalisis karena merupakan suatu terobosan dari Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara dalam partisipasi politik, sehingga dengan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mengembalikan hak konstitusional warga negara Indonesia yang sebelumnya berpotensi untuk terhapuskan karena berlakunya ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No. 42 Tahun 2008 tersebut.
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009, maka warga negara Indonesia tidak perlu khawatir akan kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sehingga warga negara Indonesia yang berada di dalam maupun di luar negeri yang tidak terdaftar dalam DPT tetap dapat menggunakan hak pilihnya dengan syarat-syarat, sebagai berikut:
1. Selain warga negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, warga negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri;
2. Warga negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
3. Penggunaan hak pilih bagi warga negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya;
4. Warga negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
5. Warga negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.
Menurut sifatnya, putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009 bersifat Konstitutif. Menurut Fauzi Yusuf Hasibuan, Putusan Konstitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan atau menimbulkan keadaan hukum baru.
Menimbulkan keadaan hukum baru yakni dengan memberikan syarat-syarat tertentu bagi ketentuan Pasal 28 dan Pasa
l 111 UU No. 42 Tahun 2008 agar dapat dinyatakan konstitusional dan memiliki kekuatan yang mengikat.
l 111 UU No. 42 Tahun 2008 agar dapat dinyatakan konstitusional dan memiliki kekuatan yang mengikat.
Putusan ini telah mengembalikan hak-hak konstitusional warga negara yang terancam kehilangan hak-haknya untuk memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Menurut Muhammad Bahrul Ulum dan Dizar Al Farizi, beberapa implikasi yang timbul setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009 adalah sebagai berikut:
Semakin kuatnya hak warga negara sebagai wujud negara hukum dan demokrasi, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” serta Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”;
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemungkinan besar akan diadopsi oleh DPR untuk dimasukkan dalam Undang-undang tentang pemilihan umum;
Dapat mengurangi terjadinya perselisihan hasil pemilihan umum terkait masalah DPT dan KTP yang berhubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut;
KPU akan bertindak cepat untuk menjaga integritas dan profesionalitasnya;
Pada pemilihan umum tahun 2014 masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dengan identitas kependudukan, sehingga penyelenggaraan pemilihan umum dapat lebih efektif dan hak konstitusional warga negara dalam demokrasi lebih terjamin perlindungan dan pelaksanaannya;
Meningkatkan kesadaran warga negara dalam berkonstitusi, yaitu ketika warga negara merasa hak konstitusionalnya dilanggar atau dirugikan atas berlakunya suatu ketentuan dalam Undang-undang, maka warga Negara tersebut dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sehingga peran Mahkamah Konstitusi dalam proses demokratisasi sejalan dengan kesadaran berkonstitusi warga Negara;
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan menjadi yurisprudensi ketika nantinya terdapat permasalahan tentang DPT dalam pemilihan umum;
Semakin menguatkan mekanisme checks and balances antara Mahkamah Konstitusi dan KPU, yang merupakan prinsip dalam negara hukum dan demokrasi, di mana dalam sistem ketatanegaraan yang modern, checks and balances tidak hanya dilaksanakan di antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja, tetapi juga dengan komisi independen seperti KPU yang juga merupakan organ konstitusi.
Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yaitu menyatakan bahwa Pasal 28 dan Pasal 111 UU No. 42 Tahun 2008 tersebut adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat-syarat yang ditentukan di dalam putusan tersebut.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa permohonan para Pemohon adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Di dalam Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2003, tidak ada bentuk dari putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan syarat tertentu bagi suatu undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional atau inskonstitusional. Adapun bentuk-bentuk putusan itu ialah:
Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung, di mana putusan ini nantinya akan menjadi sumber hukum berupa yurisprudensi bagi permasalahan yang sama di kemudian hari serta menjadi pedoman bagi pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Sudikno Mertokusumo memasukkan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum. Menurutnya, yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum.
Putusan berisi kaidah hukum: putusan adalah hukum. Putusan pengadilan mempunyai kekuatan berlaku untuk dilaksanakan sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Setelah dilaksanakan, putusan pengadilan itu merupakan sumber hukum.
Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, lembaga legislatif, yaitu DPR sudah semestinya harus lebih memperhatikan dan mempertimbangkan jaminan hak-hak konstitusional warga negara, dalam hal ini khususnya hak pilih dalam pemilihan umum yang merupakan perwujudan asas demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmanto Juawana, bahwa peraturan perundang-undangan kerap digunakan sebagai alat politik hukum untuk melanggengkan kekuasaan, memberangkus gerakan oposisi, mengekang kebebasan berpendapat dan berserikat. Permasalahan lain di antaranya ialah terlalu dominannya proses pembentukan undang-undang dengan cara top down. Dalam proses seperti ini, tidak jarang muncul jurang antara nilai yang dianut penguasa dengan nilai yang dianut oleh masyarakat. Sementara, proses pembentukan peundang-undangan dengan cara bottom up di mana masyarakat menentukan nilai dan pemerintah menerjemahkan nilai tersebut dalam bentuk perundang-undangan jarang digunakan.
Ada tiga alasan utama mengapa cara top down yang lebih mendapat tempat. Pertama,proses demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan sempurna. Akibatnya, aspirasi masyarakat mudah direkayasa. Kedua, proses top down dianggap sebagai proses paling mudah untuk dilakukan mengingat budaya yang berlaku di dalam masyarakat adalah selalu menyerahkan segala sesuatunya kepada pimpinan.Ketiga, masyarakat madani Indonesia belum terbentuk sempurna sehingga memberi peluang bagi pengambil kebijakan untuk melakukan manuver.
Sebagai akibat dari perubahan mekanisme dari zaman pra-reformasi ke era baru di zaman reformasi yang ditandai oleh perubahan UUD 1945 secara besar-besaran, maka paradigma berpikir penentu kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan juga harus berubah. Kebijakan-kebijakan negara dan pemerintahan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya tidak boleh lagi bertentangan dengan UUD 1945 atau norma hukum yang lebih tinggi.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia, telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsif.
Kasus-kasus terkait DPT yang terjadi merupakan contoh konkrit dari permasalahan-permasalahan yang ada pada pemilihan umum 2009. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden terancam tertunda apabila Mahkamah Konstitusi di injury time tidak mengeluarkan putusan yang memperbolehkan penggunaan identitas kependudukan bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT. Putusan tersebut menjadi solusi terhadap ancaman penundaan pemilihan umum yang disuarakan sejumlah pihak, termasuk salah satu pasangan calon.
Kendati demikian, putusan tersebut tetap memunculkan persoalan karena mengandung ketentuan teknis-administratif yang berpotensi menghilangkan hak pilih, yaitu syarat kartu keluarga (KK) yang mengiringi KTP dan ketentuan bahwa seseorang hanya dapat memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Dalam prakteknya, banyak warga negara yang akhirnya tidak menggunakan hak pilihnya karena sedang berada di rantau pada hari pemungutan suara, atau memang tidak memiliki KTP setempat. Selain itu, permasalahan lain yang juga timbul adalah sebagian warga negara non-DPT yang tetap tidak bisa memilih, seperti mahasiswa perantau, pekerja rantau, atau siapa saja yang masih menggenggam KTP asal, tetapi tidak pulang ke tempat asalnya pada hari pemungutan suara.
Untuk ke depannya, untuk semua permasalahan pemilihan umum yang ada, harus dicarikan solusi yang tepat, sehingga proses transisi politik di Indonesia bisa berjalan dengan lancar, karena perubahan mendasar secara keseluruhan adalah hal yang tidak mungkin, dan diperlukan waktu yang panjang serta usaha yang keras.