Pendaftaran Pemilih dalam Pemilihan Umum Menurut Undang – Undang

0 28

Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, maka seluruh aspek penyelenggaraan pemilihan umum harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Tidak adanya jaminan terhadap hak warga negara dalam memilih pemimpin negaranya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi. Terlebih lagi, UUD 1945 Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hak pilih juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat melaksanakan hak pilihnya. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilihan umum sudah seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
UUD 1945 telah menjamin perlindungan hak pilih warga negara Indonesia dalam pemilihan umum. Namun, masih terdapat kendala dalam pelaksanaan hak pilih tersebut, salah satu masalah utama yang muncul berkaitan dengan hak pilih warga negara dalam pemilihan umum adalah daftar pemilih yang tidak akurat. Selain itu, pendaftaran pemilih yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu seringkali memunculkan masalah serta indikasi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, seperti kasus yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah Jawa Timur pada tahun 2008, di mana jumlah suara jauh melebihi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ada. 
Hal ini kemudian menimbulkan efek permasalahan yang sama terhadap pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009, di mana terdapat banyak DPT-DPT fiktif yang tidak sesuai dengan data dan jumlah pemilih yang sebenarnya. Kasus ini kemudian terulang kembali pada pemilihan kepala daerah Jawa Timur tahun 2013 dan bahkan lebih parah karena kecurangan yang terjadi merata di sebagian besar daerah pemungutan suara di Jawa Timur. 
Permasalahan-permasalahan ini memperlihatkan bahwa sistem pendaftaran pemilih perlu mendapat perhatian dan pengelolaan yang lebih baik lagi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014, agar permasalahan dan kasus-kasus DPT dalam pemilu-pemilu sebelumnya yang mengancam hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpin negaranya tidak terulang kembali.
Sistem pendaftaran pemilih adalah salah satu faktor yang penting untuk menjamin terlaksananya hak pilih warga negara di dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, sistem pendaftaran pemilih harus dibuat berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir.
Prinsip komprehensif adalah daftar pemilih diharapkan memuat semua warga negara Republik Indonesia, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih agar dapat dimasukkan dalam daftar pemilih. Dalam kegiatan pendaftaran dan pemutakhiran pemilih tidak dibenarkan tindakan diskriminatif dalam rangka memasukkan atau menghapus nama-nama tertentu dalam daftar pemilih karena alasan politik, suku, agama, kelas atau alasan apapun.
  Prinsip akurat adalah daftar pemilih diharapkan mampu memuat informasi tentang pemilih, meliputi nama, umur/tanggal lahir, status kawin, status bukan anggota TNI/Polri, dan alamat, tanpa kesalahan penulisan, tidak ganda, dan tidak memuat nama yang tidak berhak. Prinsip mutakhir adalah daftar pemilih disusun berdasarkan informasi terakhir mengenai pemilih, meliputi umur 17 tahun pada hari pemungutan suara, status telah/pernah kawin, status pekerjaan bukan anggota TNI/Polri, alamat pada hari pemungutan suara, dan meninggal.
Daftar pemilih yang akurat merupakan bentuk jaminan terlaksananya hak pilih warga negara, karena syarat utama bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah telah terdaftar dalam daftar pemilih, sehingga apabila pemilih telah terdaftar dalam daftar pemilih, maka mereka telah mendapat jaminan untuk dapat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum. Sebaliknya, apabila pemilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih, maka hal ini berpotensi menghilangkan hak pilih seorang warga negara.
Hasil audit daftar pemilih Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terhadap Daftar Pemilih Sementara (DPS) pada Juli-Agustus 2008 menunjukkan sekitar 20,8% masyarakat belum terdaftar.Sedangkan, Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik Dalam Pemilu Legislatif 2009 oleh Komisi Nasiona Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan terdapat sekitar 25-40% pemilih kehilangan hak pilih karena tidak masuk daftar pemilih.
Untuk pemilu tahun 2014, sebanyak 183,1 juta pemilih sudah tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang didapat dari 497 kabupaten-kota per 15 Oktober 2013. Sedangkan, Data pemilih yang belum masuk ke pusat data Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) ada sedikitnya 4 juta pemilih, antara lain Provinsi Jawa Tengah sebanyak 2 juta pemilih, DI Yogyakarta ada 200 ribu pemilih, Papua Barat ada 700 ribu pemilih, Sumatera Utara sekitar 1 juta pemilih serta Sumatera Selatan sebanyak 200 ribu pemilih.
Untuk memberikan jaminan agar pemilih dapat menggunakan pilihnya harus tersedia daftar pemilih akurat yang memenuhi standar kualitas daftar pemilih. Standar ini memiliki dua aspek, yaitu standar kualitas demokrasi dan standar kemanfaatan teknis.
Dari aspek standar kualitas demokrasi, daftar pemilih hendaknya memiliki dua cakupan standar, yaitu pemilih yang memenuhi syarat masuk daftar pemilih, dan tersedianya fasilitasi pelaksanaan pemungutan suara. 
Dari aspek standar kemanfaatan teknis, daftar pemilih hendaknya memiliki empat cakupan standar, yaitu mudah diakses oleh pemilih, mudah digunakan saat pemungutan suara, mudah dimutakhirkan, dan disusun secara akurat.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 102/PUU-VII/2009, tanggal 6 Juli 2009 menentukan bahwa warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan identitas kependudukan, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Paspor. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memperlihatkan bahwa ketidakakuratan daftar pemilih menyebabkan warga negara berpotensi kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan umum, sehingga diperlukan perlakuan yang khusus bagi ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menentukan bahwa warga negara yang berhak menggunakan hak pilihnya adalah warga negara yang telah terdaftar dalam daftar pemilih. 
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa agar ketentuan tersebut tidak berpotensi menghilangkan hak pilih warga negara untuk memilih presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum, maka pasal-pasal tersebut dianggap konstitusional bersyarat, dan KPU harus mengatur lebih lanjut mengenai warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan identitas kependudukan.
Ketentuan dan prosedur administratif bagi seorang warga negara dalam menggunakan hak pilihnya diperlukan untuk mencegah terjadinya kekacauan dalam pelaksanaan pemilihan umum. Namun, prosedur tersebut juga tidak boleh menghilangkan hak yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih pemimpin negaranya. Apalagi, pendaftaran pemilih merupakan kewajiban dari penyelenggara pemilihan umum, dan bukan kewajiban warga negara sendiri untuk mendaftarkan dirinya, sehingga sudah semestinya setiap warga negara memperoleh kemudahan, transparansi serta pelayanan terbaik untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa pemilihan umum merupakan sarana penyaluran hak asasi warga negara yang paling prinsipil dan hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dijamin perlindungan dan pelaksanaannya sebagai perwujudan cita-cita demokrasi dan kedaulatan rakyat

Tuliskan Komentar