KEABSAHAN ELEKTRONIK DALAM PERJANJIAN PERJANJIAN UNTUK SENGKETA MELALUI ARBITRASE ONLINE, SEBAGAI ALAT BUKTI

0 12

Salah satu perubahan yang sangat besar dari perkembangannya teknologi informasi adalah dalam bidang ekonomi. Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah sistem ekonomi menjadi sistem ekonomi digital. Sistem digital ini memungkinkan dunia melakukan transaksi dengan menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan, kecepatan, danefisiensi. 
Oleh karena itu, tidak mengherankan, tidak hanya di negara-negara maju, di Indonesia-pun menggunakan internet yang berbasis e-commerce, e-bisnis, dan lain sebagainya berkembang dengan cepat. Pada saat ini dunia perbankan nasional memiliki banyak yang menggunakan fasilitas ini untuk memberikan kemudahan dalam melakukan kegiatan perbankan untuk meminta bantuannya dengan menggunakan e-bankingatau internet banking .
Perkembangan teknologi yang berkembang ini tidak diimbangi oleh perkembangan sistem peradilan di Indonesia yang masih terpuruk. Sebagai contoh, sampai dengan tahun 2005, ada sebelas ribu perkara yang masih belum tertangani di Mahkamah Agung (MA). Tunggakan ini menambahkan perkara dari 2001 hingga 2005. Selama 2006 MA menerima sekitar 500-600 perkara perdata. Untuk mendukung krim terbaik juga. Sedangkan jumlah yang telah berhasil diselesaikan oleh Mahkamah Agung pada 2005 lalu mencapai 11.800 perkara. 
Berdasarkan data tersebut, dapat dibayangkan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan melalui proses peradilan. Tidak perlu masalah perdata butuh tiga hingga enam tahun untuk mendapatkan putusan. Permasalahannya tidak berhenti sampai di sini, meskipun putusan telah diperoleh sebagian besar dari pihak yang tidak puas atas putusan tersebut sebagaimana diminta sebelumnya, banding seperti kasasi, kasasi, atau peninjauan kembali. Setiap kali dijumlahkan, maka total waktu yang diperlukan sampai dengan putusan telah memiliki hukum yang tetap lima untuk dua puluh tahun. Berdasarkan waktu yang lama timbul timbul Kembali jika putusan tersebut dieksekusi. Tidak jarang, kompilasi putusan berhasil dieksekusi, objek sengketanya telah musnah
Terobosan di bidang hukum untuk mengatasi penumpukan perkara di Pengadilan konvensional adalah dengan menggunakan persetujuan alternatif dalam persetujuan sengketa yaitu dengan persetujuan yang telah disetujui di luar pengadilan atau yang biasa disebut Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Istilah APS merupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution (ADR). 

Di Indonesia, APS sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara historis, budaya masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi tentang kekeluargaan. Ketika timbul perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota masyarakat yang berselisih ini memilih menyelesaikannya melalui adat pula melalui tetua adatnya atau melalui musyawarah. APS di Indonesia yang menjadi benih dari tumbuh kembangnya di Indonesia. Fakta APS sendiri telah lama hidup di masyarakat Indonesia, membuat keputusan yang diperlukan di luar pengadilan ini menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Semakin rumit kompleks yang dihadapi oleh manusia, semakin sulit diselesaikan semakin kompleks. APS yang awalnya sederhana, kini sudah cukup kompleks dan semakin banyak pilihannya. Antara lain adalah Negosiasi, Mediasi, Pencarian Fakta Netral , Mini-Trial, Ombudsman, dan Ringkasan Jury Trial . Masing-masing APS memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam APS tidak dikenal istilah ” satu ukuran cocok untuk semua ” yang berarti tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan APS dan seandainya dapat diselesaikan melalui APS, perlu dicari cara mana yang digunakan. 
Berbeda dengan yang ada di Amerika dan beberapa negara lain, bentuk APS yang dikenal di Indonesia adalah melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pembahasan ahli. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam tulisan ini, revisi APS yang akan dibahas adalah arbitrase online .
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) disetujui pada akhir 2005 pelanggan Internet di Indonesia mencapai 1,5 juta pelanggan sementara pengguna Internet sendiri di Indonesia telah mencapai 16 juta pengguna. Tidak tertutup kemungkinan terjadi antara pengguna layanan Internet, di mana sengketa itu terjadi dalam lalu-lintas komunikasi elektronik secara online. Misalnya yang terjadi pada online atau yang biasa disebut dengan e-commerce . Timbulnya disetujui elektronik yang dilakukan online di Internet, diharapkan dapat disetujui secara onlinejuga. Berdasarkan hal tersebut muncullah yang menarik yaitu bagaimana menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Internet melalui penyelesaian yang diatur melalui Internet. 
Berdasarkan masalah tersebut, muncullah argumen ddikembangkannya transisi arbitrase online untuk menyelesaikan sengketa hasil hukum secara elektronik khusus dan sengketa lain pada umumnya. Namun hal ini tetap terbatas pada sengketa yang didasarkan pada undang-undang yang dapat diselesaikan melalui proses alternatif yang disetujui.
Gagasan ini menjadi semakin menarik dengan diundangkannya UU ITE yang disetujui pada 25 Maret 2008, yang memungkinkan diwujudkannya komitmen ini.
Berbagai kemajuan teknologi ini kemudian diantisipasi dengan lahirnya UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 s / d Pasal 12 UU ITE. Secara umum diakui sebagai Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang berasal dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikianlah dengan Tanda Tangan Elektronik, yang memiliki kekuatan hukum dan hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Namun sebelumnya, dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (AAPS), juga menyinggung sedikit tentang verifikasi elektronik dalam Pasal 4 ayat (3) yang menyatakan:

Dalam hal disetujui, disetujui oleh arbitrase yang terjadi dalam bentuk surat persetujuan, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, < i>e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya , wajib diubah dengan catatan pendaftaran yang diterima oleh para pihak.

 
Namun apa yang telah dirumuskan dalam UU ITE dan UU AAPS ini tidak selamanya sesuai dengan peraturan lain dalam hukum nasional. Dalam BW juga KUHP misalnya, mengatur tentang hal ini masih terasa bias, sehingga penginterpretasian atas mendapatkan verifikasi elektronik masih multitafsir, dan tidak sesuai dalam penerapannya yang terjadi mengakibatkan pengalihan.
  
B. KeabsahanTransaksi Elektronik
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan persyaratan sah untuk suatu perjanjian yang diperlukan, yaitu:
1. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
2. Sebab yang halal.
Dengan mendasarkan pada ketentuanPasal 1320 KUHPerdata seharusnya tidak dipermasalahkan tentang media yang digunakan dalam transaksi, atau dengan kata lain. Pasal 1320 KUHPerdata tidakmensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Olehkarena itu, dapat dilakukan secara langsung atau secara elektronik.Namun suatu perjanjian dapat diterima sah ketika telah memenuhi tidak-tidakursebagaimana diminta dalam Pasal 1320 tersebut.
Demikian pula halnya dengan kebebasanberkontrak yang dianut KUHPerdata, di mana para pihak dapat bebas menentukan danmembuat beberapa perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukandengan itikat baik (Pasal 1338) Jadi apapun bentuk dan mediadari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para pihak karenaperikatan ini merupakan undang-undang bagi yang melibatkan.
Permasalahanakan timbul dari suatu transaksi bila salah satu pihak ingkar janji. Penyelesaian masalah yang terjadi tersebut, selalu berkaitan dengan apayang menjadi bukti dalam transaksi, lebih-lebih jika transaksi menggunakansarana elektronik. Hal ini karena penggunaan dokumen atau data elektroniksebagai penggunaan transaksi melalui media elektronik, belum diatur khusus dalamhukum acara yang berlaku, baik dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam Hukum Acara Pidana. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang DokumenPerusahaan yang menyatakan bahwa “dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau mendia lain dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah”.
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 jo. Pasal 1320 KUHPerdata, transaksi melalui media elektronik adalah sah menurut hukum.
 
Aspek Hukum Pembuktian Terhadap Data Elektronik
Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE adalah hal yang terkait dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 s / d Pasal 12 UU ITE. Informasi Umum dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang diambil dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikianlah dengan Tanda Tangan Elektronik, yang memiliki kekuatan hukum dan hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti yang telah ditentukan.
Pasal 5 ayat 1 s / d ayat 3, secara tegas mengutip: Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan terdiri dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang sesuai di Indonesia sesuai dengan Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Namun dalam ayat (4) ada pengecualian yang mengutip Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: (a). surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b). surat bersama dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 11mengutip, Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik hanya untuk Penanda Tangan; (b). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada di bawah kendali Penanda Tangan; (c). Semua perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (d). Semua perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (e). Diperlukan cara tertentu yang dipakai untuk mentransfer siapa Penandatangannya; dan (f). Ada cara khusus untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Karena telah dikemukakan, mengembangkan aplikasi elektronik dalam berbagai transaksi, di samping memberikan manfaat yang positif terkait dengan penyediaan bertaransaksi, juga memberikan manfaat yang sangat besar untuk penyimpanan dokumen sebagai hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang ada yang membantah itu dalam penggunaan sarana elektronik yang diperlukan juga kekurangan atau kekurangannya dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan.
Pasal 1866, alat bukti terdiri atas:
a. bukti tertulis;
b. bukti saksi;
c. persangkaan;
d. penerimaan;
e. sumpah.
Selanjutnya dalam Pasal 1867 ditentukan pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentikasi atau tulisan dibawah tangan. Pegertian “tulisan” dalam artikel tersebut dipastikan dalam bentuk tulisan di atas kertas.
Pengertian semacam ini tentu saja tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi jaman saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuannya yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional.
Menurut Viktor Mayer-Schönberger, tiga pendapat tentang bentuk, tentang siapa yang berhak meregulasi Internet. Pendapat pertama dikenal dengan teori . Wacana Tradisionalis Berbasis Negara mengatakan meminta pihak yang membutuhkan Internet adalah pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. 
Berdasarkan pendapat ini, pengaturan Internet akan diatur oleh masing-masing negara. Kelebihan teori ini adalah penegakan hukum terhadap pengaturan Internet yang lebih terjamin. Sementara itu, kelemahan dari pengaturan ini dilupakannya dari internet yaitu sifat global. Tidak mungkin suatu negara dapat memaksakan peraturan negaranya bagi warga negara lain yang menggunakan fasilitas Internet di negaranya.
Pendapat kedua mengatakan, Internet diatur oleh masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah Wacana Cyber-Separatist< /i> . Pendapat ini berubah antara kehidupan sosial di dunia nyata dengan kehidupan di dalam dunia maya . Berdasarkan pendapat ini tentang persetujuan tentang Internet tidak perlu dilakukan oleh negara, karena tidak akan ada peraturan yang sesuai untuk peraturan di Internet. Karena mengatur Internet menggunakan kebiasaan, para pengguna Internet akan merasa lebih berhak menerima peraturan yang ada. Akan tetapi, kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya terjadi sengket antara para pihak.
Pendapat tiga yaitu aliran Wacana Cyber-Internationalist , mengatakan pengaturan Internet meminta melalui ketentuan internasional. Jadi, ada ketentuan hukum yang berlaku internasional yang diatur tentang Internet. Pendapat ini mengarahkan pandangannya ke usaha untuk mengunifikasikan peraturan Internet. Kelemahan dari aliran ini adalah, tidak semua negara mau mengakui tentang Internet yang diperlukan sebelumnya, karena masing-masing negara memiliki karakterisitik tersendiri.
Kecenderungan yang terjadi dalam proses arbitrase online khusus dalam penyelesaian sengketa e-commerce yang dilakukan antara bisnis ke konsumen (B2C), pilihan hukum yang digunakan berdasarkan hukum nasional dari si pelaku bisnis, karena konsumen hanya memilih pilihan yang menerima klausula baku arbitrase yang tersedia atau dapat dibeli melakukan e-commerce sama sekali ( ambil atau tinggalkan ). Hal Penyanyi dipengaruhi hukum positif Yang mengatur Internet di gatra tersebut, sehingga di pengaturan Mengenai e-commerce mengikuti hukum Yang mengatur TENTANG Koneksi e-commercedalam hubungan Internetnya. Dengan demikian proses arbitrase akan menggunakan pilihan hukum di mana media Internet yang menjalankan e-commerce berada.
Ketika terjadi perdebatan yang terjadi dalam hubungan e-commerce antara klien ke klien (C2C). Pengaturan Hukum Internet yang biasa digunakan adalah menganut pada aliran Wacana Cyber-Separatist yaitu mereka akan mengatur tentang pilihan hukum mana yang akan digunakan. Selanjutnya, tentukan semua pertanyaan yang diajukan terkait dengan masalah internasional, mereka akan membahas tentang aliran Wacana Cyber-Internasionalis tentang ketentuan hukum internasional yang berlaku. Contoh sengketa pada kasus ini adalah sengketa tentang “nama domain” atau nama domain di mana pemasok penyedia nama domain untuk Top Level Domainseperti dot com, dot org, dan dot net mengajukan sengketanya untuk lolos melalui arbitrase dengan hukum pilihan, hukum internasional yaitu Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Nama Domain . 
Lalu bagaimana UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (3) yang dinyatakan itu:

Dalam hal disetujui, disetujui oleh arbitrase yang terjadi dalam bentuk surat persetujuan, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya , wajib diubah dengan catatan pendaftaran yang diterima oleh para pihak.

Selain kata “ e-mail ” keberadaan kata “bentuk komunikasi lainnya” dalam ketentuan ini dapat digunakan dasar hukum arbitrase secara online . Hanya masalah masalah prosedur operasional arbitrase online . Telah disetujui sebelumnya, arbitrase online tidak berbeda dengan arbitrase konvensional, yang berbeda tata cara pelaksanaannya. Namun, timbul pertanyaan tentang persyaratan dari perjanjian arbitrase yaitu ditulis dalam dokumen dan ditandatangani. Permasalahannya adalah bagaimana cara memenuhi persyaratan tersebut dalam arbitrase online . Untuk itu perlu diulas sebagai berikut.

Perjanjian Arbitrase , Tertulis TIDAK Selalu Harus Tercetak
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Memang menentukan perjanjian arbitrase Harus tertulis. Timbul pertanyaan, apakah yang diminta dengan tulisan yang dimaksudkan diatas media kertas. Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada persetujuan dan pemeriksaan dokumen bermedia kertas ( paperbase ). Sedangkan, hearts Arbitrase secara online , media kertas Telah digantikan Oleh data digital sehingga TIDAK Lagi diperlukan adanya Dokumen Berbentuk kertas ( paperless). Jika masalah orisinalitas yang menjadi acuan harus digunakannya dokumen cetak bermedia kertas, saat ini sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sering mengingat dokumen yang asli adalah dokumen yang ditulis di atas kertas, padahal untuk sistem dokumentasi yang menggunakan komputer, dokumen yang asli aslinya adalah dalam bentuk data elektronik ( softcopy ) yang disimpan dalam hardisk komputer bukan dalam bentuk cetaknya ( hardcopy ). Dengan demikian, nilai atau eksistensi tertentu berdasarkan perjanjian tidak tergantung pada media apa yang digunakan sebagai fiksasinya, maka tergantung pada proses mendapatkan perjanjian itu sendiri. Contohnya, suatu perjanjian arbitrase yang diterbitkan di atas kertas pun jika diproses diprosesnya tidak memenuhi persyaratan, maka perjanjian sah batal demi hukum.
Dapat disimpulkan, meskipun perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk data elektronik dan di- online -kan, sepanjang dapat dibuktikan prosesnya berjalan dengan baik dan dilakukan oleh pihak yang berhak, tetap memiliki kekuatan yang mengikat para pihak yang diminta. Dalam Hal Penyanyi Berlakulah KETENTUAN hearts Pasal 1338 KUHPerdata Yang menyatakan “perjanjian Yang Dibuat Beroperasi Sah Berlaku sebagai undang-undang Bagi mereka Yang membuatnya.” 
Sebagai contoh Sudah diterimanya perjanjian arbitrase secara online hearts Pelaksanaan arbitrase secara online DAPAT Dilihat KETENTUAN Pelaksanaan arbitrase Yang Oleh dikeluarkan America Arbitration Association (AAA) pada Aturan Tambahan untuk arbitrase online yang telah disetujui perjanjian dalam bentuk online . Hal ini terlihat dari pengantar Aturan Tambahan yang dinyatakan:

Tujuan Prosedur Tambahan untuk Arbitrase Online adalah untuk mengizinkan, di mana para pihak telah sepakat untuk melakukan arbitrase berdasarkan Prosedur Tambahan ini, proses arbitrase yang akan dilakukan dan diselesaikan secara eksklusif melalui Internet . Prosedur Tambahan mengatur agar semua kiriman pihak dilakukan secara online , dan untuk arbiter, setelah meninjau kiriman tersebut, untuk memberikan penghargaan dan untuk mengkomunikasikannya kepada para pihak melalui Internet … 

Perjanjian
 Arbitrase Harus Ditandatangani
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, perjanjian arbitrase dikumpulkan dalam satu dokumen dan ditandatangani. Artinya, suatu perjanjian arbitrase sah disetujui telah ditandatangai oleh para pihak yang menyetujui. Apakah pertanyaan, apakah tanda tangan dalam artikel tersebut hanya diartikan sepenuhnya sebagai tanda tangan hitam di atas putih? Perkembangan teknologi telah menggeser bentuk tanda tangan yang sebelumnya hanya di atas kertas, kini tanda tangan dapat menjadi tanda tangan digital atau yang biasa disebut Digital Signature (DS).

Penggunaan tanda tangan di dalam kegiatan sehari-hari yang disponsori oleh penggunaan dalam DS di Internet yang ditujukan untuk nilai yang dikeluarkan dari data atau informasi. Perbedaannya adalah, tanda tangan lazimnya merupakan kombinasi atau variasi dari nama atau singkatan nama seseorang. Di pihak lain dalam Internet, tanda kombinasi digital, yaitu kombinasi dari bilangan biner 0 dan 1 yang diinterpretasikan menjadi karakter yang unik dan melalui proses penyandian ( enkripsi ).
Tanda tangan digital sering disalahartikan menjadi tanda tangan di atas kertas lalu dengan proses scanning , tanda tangan tersebut dimasukkan ( input) Menjadi Komputer Jadi Menjadi Gambar Tanda Tangan Yang Kemudian Dilekatkan Dengan Dokumen Untuk Mengumumkan Dokumen “Telah Ditandatangani”. Tidak jarang tanda tangan digital juga dibahas sebagai tanda tangan yang dibuat langsung di komputer menggunakan mouse sehingga membentuk tanda tangan seperti lazimnya tanda tangan di atas kertas.
 
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 terbatas pada pengertian tanda tangan sebagai hitam di atas putih? Arbitrase. Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disetujui perjanjian pihak tidak disetujui perjanjian arbitrase, maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. Pasal ini menjelaskan tujuan menandatangani perjanjian arbitrase yaitu untuk keperluan pembuktian perjanjian arbitrase tersebut.
 
Mark Taylor dalam tulisannya yang berjudul Penggunaan Enkripsi: Digital Signatures mengatakan:

tanda tangan digital yang dirancang sedemikian rupa sehingga keaslian dan integritas data yang dilampirkan dapat dijamin. Pada dasarnya, masalah utama untuk data yang telah ditandatangani digitaly adalah:

apakah data itu telah diubah antara yang ditandatangani dan sedang dibaca atau diterima oleh penerima yang dimaksud; dan
apakah data tersebut benar-benar ditandatangani oleh orang yang olehnya data tersebut telah ditandatangani atau apakah tanda tangan yang melekat padanya ditempa dengan cara tertentu. 
Jadi, persetujuan keperluan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase adalah untuk pembuktian, perlindungan keotentikan beberapa dokumen yang menggunakan tanda tangan digital jauh lebih kuat, karena tanda tangan digital memiliki karakter yang sangat unik dan telah tersandikan ( terenkripsi ) sehingga mudah ditiru sangat kecil. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase, perjanjian arbitrase khusus online tidak berhasil dipermasalahkan. Justru DENGAN adanya Tanda serbi Data Seluruh digital hearts Proses arbitrase akan terlindung kerahasiaan Dan keotentikannya, KARENA Yang DAPAT Membuka Data tersebut Hanyalah parties Yang Tanda tangannya Telah di- menerima hearts Dokumen Saja Yang DAPAT Membuka Dokumen.
Selain harus memenuhi syarat persetujuan arbitrase yang diminta sebelumnya, suatu proses arbitrase online meminta prosedur dan kelengkapan yang berbeda dengan proses arbitrase konvensional. Dalam sub bab selanjutnya akan diuraikan prosedur dan kelengkapan yang diperlukan untuk melangsungkan arbitrase online .

Tuliskan Komentar