HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

0 14
Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur tata kelola pemerintahannya. Salah satu bentuk system itu adalah demokrasi. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintah politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Secara historis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”,yang dibentuk dari kata (dêmos) “rakyat” dan (Kratos) “kekuasaan”. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan demokrasi adalah sistem pemerintahan suatu negara yang kekuasaannya mutlak di tentukan oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilan rakyat.
Indonesia adalah negara demokrasi merupakan sebuah pernyataan ideologis dan faktual yang tidak dapat lagi ditolak.
Keniscayaan sebagai sebuah negara demokrasi terlihat dari diberlakukannya pemelihan umum (pemilu) dalam setiap lima tahun, mulai dari tingkat kabupaten dan kota sampai tingkat pusat. Pemilu tersebut dapat berupa pileg (pemilihan legislatif), pilgub (pemilihan gubernur), pilpres (pemilihan presiden) dan sebagainya. Selain itu, keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan lembaga Kepresidenan dengan dilengkapi kementerian-kementerian semakin mempertegas kenyataan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Walaupun itu semua dalam standar minimal atau procedural sebagai negara demokrasi.
Demokrasi kekinian adalah demokrasi yang mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat, sehingga mampu menjadi jawaban terhadap setiap masalah-masalah kebangsaan hari ini. Seperti halnya pemilihan umum baik pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden, seharusnya menjadi momen penting untuk untuk menjalankan setiap sendi-sendi demokrasi, karena demokrasi bagi bangsa Indonesia  merupakan tatanan kenegaraan yang paling sesuai dengan martabat manusia yang menghormati dan menjamin pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
Namun disisi yang lain ketika praktek demokrasi sudah dilaksanakan acap kali dijumpai kekecewaan-kekecewaan sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut.
Contoh yang paling faktual adalah kekisruhan tentang banyaknya warga negara yang hilang hak memilihnya karena tidak terdaftar didalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam konstelasi demikian, kemudian mengkonklusikan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilihan secara lansung sebagai sebuah persengketaan yang memerlukan kepastian hukum. Sehingga payung hukum yang menjamin semua persengketaan didalam pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara lansung bisa diselesaikan dengan sebaik dan seadil mungkin menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi.
Peranan lembaga yudikatif sangat diperlukan dalam menyelesaikan sengketa pemelihan umum. Karena salah satu tuntutan reformasi adalah terciptanya negara hukum yang demokratis, di mana menempatkan hukum pada posisi yang tertinggi yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Jika ada permasalahan maka keputusan hukumlah yang menjadi pedoman tertinggi yang harus dijalankan. Salah satu bentuk putusan hukum adalah putusan pengadilan.
Diskursus mengenai wewenang pengadilan dalam menyelesaikan kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemelihan presiden dan wakil presiden maka hal ini jatuh pada prespektif pengadilan dan politik, pengadilan/yudikatif dan kekuasaan termasuk eksekutif termasuk kompetensi untuk memasuki ranah-ranah kekuasaan politik. Pengadilan sebagai cabang kekuasaan negara diharapkan dapat bertindak netral dan imparsial. Kalau pengadilan tidak lagi imparsial maka selesailah sudah, mengacaukan seluruh bangunan hidup bernegara, mengacaukan keinginan rakyat untuk membangun negara yang demokratik. Dengan adanya penghapusan DPT maka tidak adanya kesamaan hak yang dimiliki oleh warga Negara dan hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum.
Koffi A. Annan mengatakan:
All States, but small states especially, have an interest in maintining an international order based on something better than the grim maxim that ‘might is right’— based, in fact, on general principles of law, which give the same right to the weak as to the strong.

Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 
Hal ini senada dengan fungsi pengadilan untuk memecahkan sengketa ditengah masyarakat, ….  Court, as we have stressed, are equipped to handle a normal flow of trouble cases. They must also be equipped to assimilate and bring about change, at least in a gradual manner.

Keluarnya Putusan MK No.102/PUU-VII/2009 didasarkan kepada kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan bukan kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Pengujian ini dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 28 dan Pasal 111.
Dengan adanya ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) yang menyebabkan seorang warga negara kehilangan hak memilih ketika tidak mendaftar sebagai pemilih atau tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)  adalah sangat tidak adil. Di satu sisi, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 memberikan kewajiban untuk mendaftar semua warga yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah kawin kepada penyelenggara pemilu. Namun, disisi lain, bila penyelenggara Pemilu lalai mendaftar seorang warga negara yang telah memiliki hak memilih, warga negara yang bersangkutan kehilangan hak memilihnya. Kesalahan atau kelalaian penyelenggara Pemilu ditimpakan akibatnya kepada warga negara.
Pemilihan umum atau pemilu merupakan sarana berdemokrasi bagi warga negara dan merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konsitusi, yaitu hak atas kesempatan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Dengan hilangnya hak memilih sebagian besar warga Negara, secara tidak lansung Negara telah melanggar hak-hak asasi manusia yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya didengungkan oleh sebagian besar Negara-negara di dunia berupa hak untuk dipilih dan hak untuk memilih.
Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya memberikan hak tersebut pada warga negara yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau Daftar Pemilih Tambahan. Sehingga warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih, akan tetapi masih belum terdaftar dalam DPT telah dirugikan atas keberlakuan pasal dalam undang-undang tersebut. Sehingga dipastikan apabila tidak diajukannya judicial review atas pasal tersebut, maka tidak bisa menggunakan haknya dalam Pemilihan Umum Presiden.
Setelah pengujian (judicial review) atas Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian diputuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009, maka hak asasi yang dijamin dalam konstitusi semakin dikuatkan sehingga warga negara yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilh Tetap (DPT) bisa tetap menggunakan haknya dengan kartu Tanda Penduduk (KTP) disertai Kartu Keluarga (KK) atau Paspor bagi warga negara indonesia yang berada di luar Indonesia dengan syarat-syarat tertentu.
Dengan adanya judicial review ini maka hak-hak masyarakat yang hilang dapat dikembalikan melalui sebuah proses peradilan fair, sehingga benturan-benturan kepentingan bisa diselesaikan dengan seadil-adil berdasarkan amanah konstitusi, sehingga penyelesaian secara jalur hukum mendapatkan tempat dihati masyarakat.
The notions of checks and balance, separation of power, independence of the judiciary, due process of law and judicial review, wich are vital foundations of rechstaat.

Putusan ini dijatuhkan hanya beberapa jam setelah sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan. Mahkamah Konstitusi tidak mendengarkan keterangan dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maupun ahli. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan hak untuk memilih telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Hak konstitusional itu tak boleh dihambat oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif.  Banyak kalangan mengungkapkan buruknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU. Beberapa kalangan mengungkapkan adanya jutaan pemilih yang namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga potensial kehilangan hak pilih.
Terkait dengan persoalan itu, Mahkamah Konstitusi menilai perlunya suatu solusi untuk melengkapi Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga penggunaan hak pilih warga tidak terhalangi. Bagi Mahkamah Konstitusi, pemutakhiran data oleh KPU bukan solusi yang tepat mengingat waktu yang tersisa sangat terbatas. Karena itu, penggunaan KTP atau paspor bagi pemilih yang terdapat di luar negeri merupakan alternatif paling aman untuk melindungi hak warga.
Soal penggunaan KTP ini, hakim konstitusi Arsyad Sanusi mengatakan, KPU dapat langsung melaksanakannya dengan berdasar putusan Mahkamah Konstitusi. Penggunaan KTP tidak memerlukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk melaksanakannya karena putusan MK bersifat langsung dapat dilaksanakan.
Mahkamah Konstitusi ternyata menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 UU 42 Tahun 2008 tersebut tidaklah inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi justru malah mengukuhkan keberadaan Pasal 28 dan Pasal 111 UU 42 Tahun 2008 dengan menyatakan bahwa kedua Pasal tersebut adalah Konstitusional. Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan lima syarat konstitusionalitas Pasal 28 dan Pasal 111 UU 42 Tahun 2008 tersebut. Artinya, dengan menetapkan lima syarat konstitusionalitas Pasal 28 dan Pasal 111 UU 42 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi menempatkan diri sebagai lembaga penafsir Undang-undang dan mempunyai kewenangan untuk membuat norma perundang-undangan.
Rumusan Masalah
Bagaimana peranan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa DPT?
Bagaimana implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII/2009 terhadap ketentuan mengenai DPT dalam UU No. 42 Tahun 2008?
TINJAUAN TENTANG HAK PILIH DAN PENDAFTARAN PEMILIH
Hak Pilih Warga Negara dalam Demokrasi
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim mengungkapkan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah pula yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.
Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebutlah yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek.
Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Mekanismenya melalui pemilihan umum (general election). Dengan demikian, pemilihan umum (general election) Secara umum tujuan pemilihan umum itu adalah:
memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga Negara.
Keikutsertaan warga dalam pemilihan umum (general elections) merupakan ekspresi dari ikhtiar melaksanakan kedaulatan rakyat serta dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.[1]
Pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya.
Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.[2]
Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.
Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratis mungkin tercipta. Masyarakat demokratis ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan.
Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik, dan mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun media massa.
Dalam pemilihan umum diakui adanya hak pilih secara universal (universal suffrage). Hak pilih ini merupakan salah satu prasyarat fundamental bagi negara yang menganut demokrasi konstitusional modern. Dieter Nohlen berpendapat bahwa:
“The right to vote, along with freedom of expression, assembly, association, and press, is one of the fundamental requirements of modern constitutional democracy”.
Hak pilih warga negara mendapatkan jaminan dalam berbagai instrumen hukum. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa:
(1)   Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas;
(2)   Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya;
(3)   Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa:
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa:
(1)   Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menentukan bahwa:
(3)   setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Pada tingkat undang-undang, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak pilih dalam Pasal 43 yang menentukan bahwa:
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hak pilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Pasal 25 ICCPR menentukan bahwa,
“Setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan:
a)      Ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara              bebas;
b)      Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta            dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para           pemilih;
c)      Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan.”
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, tanggal 24 Februari 2004 menyebutkan:
“Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”
Hal ini memperlihatkan pentingnya hak pilih warga negara dalam pemilihan umum dalam rangka menjamin hak asasi warga negara sebagai cita-cita demokrasi. Jaminan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan warga negara merupakan pilar utama demokrasi.

Tuliskan Komentar